Senin, 07 Januari 2013

Interaksi Obat Diabetik

                                 Disusun Oleh :

Melya Lestari (111524009)        
M. Budi Armansyah (111524010)    
Ayu Dewiani Y. Putri (111524011)
Chemayanti Surbakt (111524012
Suci Lestari  (111524013)



PENDAHULUAN

1.1                                    Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes melitus adalah penyakit pada orang yang kelenjar pankreasnya gagal menghasilkan insulin dalam jumlah cukup, atau yang tubuhnya tak dapat menggunakan insulin dengan baik. Insulin adalah hormon yang membawa gula dari darah ke sel tubuh yang membutuhkannya yang mengubahnya menjadi energi. Pada pasien diabetes melitus, gula tetap berada dalam darah (dan keluar melalui urin) dan tidak dibawa ke sel untuk digunakan. Karena tak ada gula, sel harus membakar lemak dan protein lebih dari biasanya. Pemecahan lemak dan protein secara berlebihan ini akan membebaskan produk buangan asam kedalam darah (Harkness, 1989). Diabetes yang tak ditangani atau diawasi dengan baik dapat menimbulkan efek merugikan dalam jangka panjang dan dapat menyebabkan krisis metabolik dan koma diabetik (Harkness, 1989).
Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat.
Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas, memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Mendampingi, memberikan konseling dan bekerja sama erat dengan penderita dalam penatalaksanaan diabetes sehari-hari khususnya dalam terapi obat merupakan salah satu tugas profesi kefarmasian. Membantu penderita menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, memberikan rekomendasi penyesuaian rejimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker. Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan pelanggan tetap apotik, sehingga frekuensi pertemuan penderita diabetes dengan apoteker di apotik mungkin lebih tinggi daripada frekuensi pertemuannya dengan dokter. Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional.

PENGENALAN DIABETES MELLITUS
            Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.
WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.  Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)
1 Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
3 Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
• kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
• DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
• Pankreatitis
• Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
Cistic Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Willi
4. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5. Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Diabetes Mellitus Type I
            Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. 
Diabetes Mellitus Type II
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:
a.  Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa    plasma puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).




GEJALA KLINIK   
            Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL.
KOMPLIKASI
2.5.1    Hipoglikemia
            Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
􀂃 Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
􀂃 Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli gizi
􀂃 Berolah raga terlalu berat
􀂃 Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
􀂃 Minum alkohol
􀂃 Stress
􀂃 Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia
           Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
a) Dosis insulin yang berlebihan
b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik berlebihan
d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.
             Diabetes Melitus :Peningkatan Glukosa Darah Secara Abnormal (Hiperglisemia)

Komplikasi Makrovaskular
3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin Resistance Syndrome.
Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.
Pankreas
Pankreas adalah organ abdomen difusidan besar berfungsi sebagai kelenjar endokrin dan eksokrin. Bagian eksokrin pankreas menghasilkan enzim-enzim pencernaan, berupa pulau-pulau langerhans menghasilkan hormon (Tambayong, 2002). Fungsi eksokrin pankreas berkaitan dengan sintesis dan mengeluaran enzim-enzim pencernaan dan larutan natrium bikarbonat dari sel-sel khusus pankreas yang disebut sel asinus. Sel-sel asinus mengeluarkan isinya kedalam duktus pankreatik. Dari duktus pankreatik enzim pedriatik, enzim dan larutan bikarbonat mengalir melewati sfingter oddi masuk kebagian pertama dari usus halus yaitu duodenum. Enzim pankreatik dan larutan bikarbonat berperan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan di usus halus (Elizabet, 1981)
Sekresi enzim pankreas terutama berlangsung akibat stimulus pankreas oleh kolesistokinin (CCK) yang suatu hormon yang dikeluarkan oleh usus halus. Enzim pankreas di sekresi sebagai proenzim inaktif yang diaktivasi jika sudah jika sudah mencapai  duodenum. Enzim pengaktivasian termasuk tripsin, amilase dan lipase yang bertanggung jawab untuk mencerna protein menjadi asam amino, karbohidrat menjadi gula sederhana dan lemak menjadi asam lemak dan monogliserida atau sebaliknya (Elizabet, 1981).
Fungsi endokrin pankreas adalah memproduksi dan melepaskan hormon insulin, glokagon dan somatostatin. Hormon ini masing-masing diproduksi oleh sel-sel khusus yanag berbeda di pankreas yang disebut pulau langerhans (Elizabet,1981). Sintesis insulin di pankreas berasal dari pembelahan enzimatik molekul pro insulin,yang merupakan produk pembelahan molekul propreinsulin yang lebih besar. Proinsulin tersusun dari fragmen peptida A dan yang berhubungan dengan fragmen peptida C dan dua ikatan bisulfida (Elizabet, 1981). Insulin dilepas pada tingkat kadar basal oleh sel-sel beta pulau langerhans. Stimulus utama untuk melepaskan insulin di atas kadar basal adalah peningkatan glukosa darah. Molekul transporter  glukosa yang disebut transporter glukosa GLUT4, berperan penting untuk memfasilitasi pelarutan glukosa  kesebagian membran sel (Elizabet,1981). Pelepasan insulin juga dirangsang oleh beberapa asam amino dan hormon pencernaan seperti CCK dan sekretin. Sistem saraf otonom juga menstimulasi pelepasan insulin melalui saraf parasimpatis ke pankreas. Stimulus simpatis k pankreas menurunkan pelepasan insulin (Elizabet, 1981).
Mekanisme Kerja Insulin ;
Target organ utama insulin dalam mengatur kadar glukosa adalah hepar, otot dan adiposa. Pelepasan insulin dirangsang oleh sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Dimana glokosa yang merupakan salah satu zat eksogen yang menjadi penentu utama fungsi sel- β dalam mensitesis maupun melepaskan insulin. Glukosa yang berada diantar darah akan memasuki sel-β melalui transport terfasilitasi yang di perantarai oleh GLUT2. selanjutnya glukosa mengalami proses metabolisme, pada akhirnya menyebabkan terbukanya saluran kalsium voltage-gated. Peningkatan kalsium intra seluler menstimulasi eksositosis granula diikuti pelepasan insulin dan komponen lainnya ke sirkulasi (Gunawan, 2007).
            Insulin mempercepat masuknya glukosa ke sel otot rangka dan adipose. Insulin masuk ke reseptor α di luar sel kemudian ke reseptor β di dalam sel. Selanjutnya merangsang fosforilase intrasel yang kompleks, berakhir dengan pembentukan transporter glukosa (GLUT4). Kemudian GLUT4 ditranslokasi ke dinding sel, glukosa plasma masuk ke sel melalui GLUT4. dalam sel, digunakan untuk metabolisme atau disimpan sebagai glikogen atau trigliserida (Gunawan, 2007).
Penghambat Enzim α-glikosidase
Obat golongan ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestine. Dengan menghambat enzim α glikosidase di brush border intestine, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. (Gunawan, 2007).
Obat ini bekerja dengan cara memperlambat proses pencernaan karbohidrat menjadi glukosa sehingga kadar glukosa darah setelah makan tidak meningkat sekaligus. Sisa karbohidrat yang tidak tercerna akan dimanfaatkan oleh bakteri yang ada di usus besar, dan ini menyebabkan perut menjadi kembung, sering buang angin, mencret, dan sakit perut. Pemakaian obat ini bisa dikombinasikan dengan obat golongan sulfonil urea atau insulin, tetapi bila terjadi efek hipoglikemia hanya dapat diatasi dengan gula murni yaitu glukosa atau dextrose. (Dalimartha, 2004).
PEMBAGIAN OBAT-OBATAN DIABETIK
Obat Antidiabetik Oral
            Ada 5 golongan antidiabetik oral yang dapat digunakan untuk DM dan telah dipasarkan di Indonesia,yakni: sulfonilurea, meglitinid, biguanid, penghambat α-glikosidase, dan tiazolidinedion. Kelima golongan ini dapat diberikan pada DM tipe II yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja (Gunawan, 2007).
1. Golongan  Sulfonilurea
Obat yang termasuk golongan ini dapat menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi dengan cara merangsang keluarnya insulin dari sel β pankreas. Bila pankreas sudah rusak sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi maka obat ini tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah. Itulah sebabnya obat golongan ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe I. Namun akan berkhasiat bila diberikan pada penderita DM tipe II yang mempunyai berat badan normal (Dalimartha, 2004).
Penggunaan obat golongan sulfonilurea pada pasien diabetes mellitus yang gemuk dan obesitas perlu hati-hati, karena mungkin kadar insulin darahnya sudah tinggi (hiperinsulinemia) tetapi tidak dapat digunakan secara efektif karena adanya resistensi insulin. Pemberian obat golongan sulfonilurea pada penderita DM dengan obesitas akan memacu pankreas mengeluarkan insulin lebih banyak lagi. Akibatnya keadaan hiperinsulinemia menjadi lebih tinggi (Dalimartha, 2004).
Contoh obat golongan sulfonilurea antara lain Chlorpropamide, Tolbutamide, Glibenklamid, Intermediate, Gliclazide, Glipizide, dll. (Dalimartha, 2004).
Mekanisme kerja : golongan obat ini sering disebut insulin secretagogues, kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pancreas. Rangsangannya melalui interaksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel-sel β yang menimbulkan depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptide C. (Gunawan, 2007).
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) hanya digunakan untuk mengobati individu dengan DM tipe II (Moore, 1997). Dalam penelitian ini, dipilih obat golongan sulfonilurea yaitu glibenklamid. Obat golongan ini menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea :
a) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan (stored insulin)
b) Meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa
(Soegondo, dkk., 2005).
Glibenklamid mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut. Tetapi pada pemakaian jangka lama >12 minggu masa paruh memanjang sampai 12 jam. Karena itu dianjurkan untuk memakai obat glibenklamid 1 kali sehari. Glibenklamid menurunkan kadar glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sebelum makan masing –masing sampai 36% dan 21% (Soegondo, dkk., 2005).
Glibenklamid secara reaktif mempunyai efek samping yang rendah. Hal ini umum terjadi dengan golongan-golongan sulfonilurea dan biasanya bersifat ringan dan hilang sendiri setelah obat dihentikan. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Mutschler, 1991).
2. Golongan Biguanid
Obat golongan biguanida bekerja dengan cara meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin yang diproduksi oleh tubuh sendiri. Obat ini tidak merangsang peningkatan produksi insulin sehingga pemakaian tunggal tidak menyebabkan hipoglikemia. Obat golongan biguanid dianjurkan sebagai obat tunggal pada penderita diabetes mellitus dengan obesitas (BBR>120%). Untuk penderita diabetes mellitus yang gemuk (BBR>110%) pemakaiannya dapat dikombinasikan dengan obat golongan sulfonilurea (Dalimartha, 2004).
Efek samping yang sering terjadi dari pemakaian obat golongan biguanid adalah gangguan saluran cerna pada hari-hari pertama pengobatan. Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan memakai obat golongan ini. Contoh obat golongan ini yaitu Metformin-HCl (Dalimartha, 2004).
Mekanisme kerja : Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjasi karena adanya aktivitas di sel. Meski masih controversial, adanya penurunan produksi glukosa hepar, banyak data yang menunjukkan bahwa efeknya terjadi akibat penurunan glukoneogenesis. Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa menjadi lemak. Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas pula, pada orang nondiabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa darah. Metformin oral akan mengalami absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar 2 jam. (Gunawan, 2007)
3. Golongan Tiazolidinedion
Mekanisme kerja : Insulin merangsang pembentukan dan translokasi GLUT ke membran sel di organ perifer. Ini terjadi karena insulin merangsang PPARγ terdapat di target insulin, yakni di jaringan adiposa, hepar, pancreas, keberadaannya di otot di otot skelet masih diragukan. Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPARγ, mengaktifkan PPARγ membentuk kompleks dan terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adiposa PPARγ mengurangi keluarnya asam lemak menuju ke otot, dan karenanya dapat mengurangi resistensi insulin. Pendapat lain aktivasi hormone adiposity dan adipokin, yang nampaknya adalah adiponektin. Senyawa ini dapat meningkatkan sensitivitas insulin melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang transport glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Efek samping berupa peningkatan berat badan, edema, menambah volume plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif (Gunawan, 2007).
4. Golongan Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme kerjanya sama dengan sulfonil urea tetapi struktur kimianya sangat berbeda. Golongan ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel β pankreas (Gunawan, 2007).
Pada pemberian oral absorbsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan. Metabolism utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% di metabolisme di ginjal. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna (Gunawan, 2007).
TABEL INTERAKSI OBAT



Interaksi Obat Antidiabetik Oral
Efek
Mekanisme
Klorpropamid
Alkohol
Disulfiram
(efek Antabuse)
Proses perombakan enzimatis dari alkohol di hati akan terhambat pada fase asetaldehid dalam darah meningkat sehingga merangsang pelepasan prostaglandin
Sulfonilurea
Akarbose
hipoglikemi
Sulfonilurea merangsang sel beta untuk melepaskan insulin yang selanjutnya akan merubah glukosa menjadi glikogen. Dengan adanya akarbose akan memperlambat absorbsi & penguraian disakarida menjadi monosakarida. Maka insulin meningkat dari pada glukosa.
Sulfonilurea
Antasida
Absorbsi sulfonilurea meningkat
Antasida akan meningkatkan pH lambung yang kemudian akan mening-katkan kelarutan dari sulfonilurea sehingga absorbsinya dalam tubuh meningkat
Insulin
CPZ
Glukosa darah meningkat
CPZ akan menginaktivasi insulin dengan cara mereduksi ikatan disulfida sehingga insulin tidak dapat bekerja
Repaglinide
Makrolida
Efek repaglinide meningkat
Makrolida menghambat metabolisme repaglimide dengan menginhibisi sitokrom P450 isoenzim CYP3A4






CONTOH OBAT DI PASARAN



DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha, S. 2004. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus.  Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 3, 33-37.

Elizabeth, P. 1981. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit EGC.

Gunawan, Sulistia. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi V. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Hal. 389-494.

Harkness, R. 1989. INTERAKSI OBAT. Bandung: ITB Press. Hal. 99-100.

Klein, Guy at all. 2007. Antidiabetes and Anti-obesity Activity of Lagerstroemia speciosa. USA. Hal. 403-405.

Soehadi, K. 1996. Diabetes Mellitus Pria Profil Spermiogram Hormon Reproduksi dan Potensi Seks. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 5-13.

Tambayong, Jan. 2002. Anatomi dan Fisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit EGC. Hal. 71-76

Tjay, T.H. 2003. Obat-Obat Penting, Edisi kelima. Jakarta: PT. Gramedia.